Selasa, 31 Januari 2017

URGENSI INTEGRITAS DALAM DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA

URGENSI INTEGRITAS DALAM DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA



 







Oleh:
Setyadi
NIP. 196711081990031003
NUPTK 3440-7456-4720-0013





SMP NEGERI 1 SUSUKAN
KABUPATEN BANJARNEGARA
PROPINSI JAWA TENGAH
TAHUN 2016
Indonesia adalah negara yang secara geografis sangat strategis di dunia, dimana dua benua dan dua samudera mengapitnya. Itu terkenal sejak belajar di bangku Sekolah Dasar (SD). Sekarang terlihat semakin mempesona dengan seiring memasuki milenium ke 3, masuk era digital keindahannya pesona Indonesia semakin mengglobal. Semakin mudahnya arus informasi keindahan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia akan mudah dilihat dan dinikmati.
Dengan banyaknya cahaya matahari yang menyinari negara kita tercinta maka semua makhluk di dunia ini akan berebut untuk ikut menikmati energi tersebut. Mulai makhluk bersel satu seperti bakteri sampai bersel banyak seperti manusia, sehingga menimbulkan keanekaragaman flora dan fauna terlengkap di dunia. Sehingga Indonesia terkenal sebagai zamrut katulistiwa. Karena itu pantaslah kiranya untuk bersyukur dengan bertanah air Indonesia.
Sudah sepantasnya Indonesia menjadi negara maju, yang banyak berperan di dunia internasional, seperti yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Potensi tersebut telah tergambar sangat jelas dari kemampuan bangsa Indonesia mengusir penjajah sampai memerdekan sendiri dan mengatasi krisis politik dan ekonomi yang mengiringinya. Kemampuan mengatasi badai krisis ekonomi 1998 menjadi tolok ukur di era modern bahwa bangsa ini masih mampu mengatasi masalah sendiri. Dunia bahkan sempat gamang terhadap Indonesia pada waktu itu dengan sulitnya IMF memberikan suntikan dana, namun dengan persatuan masyarakat maka dolar Amerika yang sempat menembus angka Rp. 18.000 berangsur turun sampai menyentuh Rp. 6.500 dalam waktu satu tahun di era pemerintahan BJ. Habibie.
Sejujurnya, carut marutnya keadaan bangsa kita tercinta saat ini merupakan kegagalan pendidikan. Sebenarnya sumber dari kegagalan pendidikan itu adalah karena kurangnya integritas penyelenggara dan para pihak yang ikut berkepentingan. Sesungguhnya kegagalan pendidikan merupakan kegagalan dalam proses pembelajaran dan yang paling bertanggung jawab atas kegagalan tersebut adalah guru. Artinya jika pendidikan belum mampu memajukan bangsa, maka guru lah yang gagal dalam melakukan tugasnya.
Maka harapannya,
pemerintah perlu memperhatikan guru agar mampu berperan memajukan bangsa. Mulai dari rekruitmen yang transparan dan berkualitas serta berintegritas tinggi. Hingga pelatihan-pelatihan untuk memberdayakan kemampuan guru agar mampu berkreatifitas tinggi dalam pengembangan diri. Guru yang berkualitas akan mampu melaksanakan proses pembelajaran yang berkualitas. Proses pembelajaran yang berkualitas akan menghasilkan peserta didik yang berkualitas. Peserta didik yang berkualitas akan mampu berperan dalam memajukan bangsa.
Masalah
Permasalahan pendidikan difokuskan pada masalah guru dan pengelolaannya. Dari banyak kajian dan pengamatan bahwa peningkatan kesejahteraan guru dengan tunjangan profesi guru atau sertifikasi belum mampu meningkatkan kualitas guru. Kualitas guru di Indonesia masih sangat rendah, baik di tingkat regional maupun internasional.
Berikut beberapa data mengenai hasil buruk yang dicapai dunia pendidikan Indonesia pada beberapa tahun terakhir diantaranya:
1.     Sebanyak 75 persen sekolah di Indonesia tidakmemenuhi standar layanan minimal pendidikan.
2.     Nilai rata-rata kompetensi guru di Indonesia hanya 44,5. Padahal, nilai standar kompetensi guru adalah 75. 
3.     Indonesia masuk dalam peringkat 40 dari 40 negara, pada pemetaan kualitas pendidikan, menurut lembaga The Learning Curve. 
4.     Dalam pemetaan di bidang pendidikan tinggi, Indonesia berada di peringkat 49, dari 50 negara yang diteliti.
5.     Pendidikan Indonesia masuk dalam peringkat 64, dari 65 negara yang dikeluarkan oleh lembaga Programme for International Study Assessment (PISA), pada tahun 2012. Tren kinerja pendidikan Indonesia pada pemetaan PISA pada tahun 2000, 2003, 2006, 2009, dan 2012, cenderung stagnan. Hasil PISA telah banyak dikutip, beberapa dengan nada sarkastik, tentang siswa Indonesia yang ”bodoh, tetapi bahagia” oleh Pisani (2013).
6.     Pada Maret 2016 lalu, Most Literate Nations in the World, malah merilis pemeringkatan literasi internasional. Dalam pemeringkatan tersebut, Indonesia berada di urutan ke-60 di antara total 61 negara. Bahkan tahun 2011 UNESCO meliris indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih mau membaca buku secara serius (tinggi).  
7.     Indonesia menjadi peringkat 103 dunia, negara yang dunia pendidikannya diwarnai aksi suap-menyuap dan pungutan liar.
8.     Angka kekerasan yang melibatkan siswa di dalam dan luar sekolah di Indonesia meningkat terus.
9.     Hasil tes PIAAC atau Programme for the International Assessment of Adult Competencies terbaru, survei terhadap tingkat kecakapan orang dewasa yang dilakukan oleh OECD (Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) menunjukkan hasil yang sangat memprihatinkan, menduduki peringkat 34 dari 34 negara yang disurvei.  
10.  Angka pernikahan dini menduduki ranking 2 di tingkat ASEAN.
11.  Akses pornografi menduduki ranking 2 setelah Amerika.
12.  Meningkatnya angka penyalahgunaan obat terlarang atau narkoba di kalangan remaja sekolah dan usia produktif.
13.  Meningkatnya angka penderita AIDS yang cukup signifikan di kalangan remaja dan usia produktif, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan lost generation karena narkoba dan AIDS.
Jika dicermati, masalah di atas merupakan masalah pendidikan. Mulai dari hasil pendidikan yang berupa kognitif  pengetahuan sampai hasil pendidikan berupa perilaku.
Solusi
Bila dilihat dari regulasi yang ada apa yang salah dengan perundangan-undangan yang  masih berlaku. Ternyata tidak, bisa dibandingkan dengan negara-negara lain anggaran yang diberikan kepada departemen pendidikan menduduki porsi tertinggi dengan 20% RAPBN, walaupun masih kalah dengan negara maju, paling tidak sudah tidak ketinggalan dengan negara tetangga. Pernah ada tulisan lama di harian kompas oleh Dirjen pendidikan dasar mengenai HDI Indonesia dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, ternyata dari laporan UNDP terlihat bahwa negara yang berani berspekulasi berani menganggarkan besar dalam pendidikan akan memperoleh hasil dalam waktu sepuluh tahun meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Paradigma membangun ekonomi yang mampu digadang-gadang mensejahterakan kehidupan bangsa ternyata telah gagal. Sejarah mencatat bangsa ini pernah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sekitar 7% per tahun, namun keropos diterpa badai krisis akhir tahun 1997. Sementara Malaysia yang berani menganggarkan sampai hampir 30% RAPBN mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi, walaupun banyak faktor yang mempengaruhi. Ini artinya secara perundangan sudah benar dengan menganggarkan pendidikan dengan porsi tertinggi. Para penyelenggara negara telah sadar, dan membangun paradigma baru yang menitikberatkan pada pendidikan sebagai faktor utama pemicu pertumbuhan di segala sektor kehidupan. Hasil pendidikan pendidikan memang tidak dapat dilihat dalam waktu singkat, butuh paling tidak dua puluh tahun kemudian.
Regulasi yang ada sudah benar, anggaran cukup, lantas dimana letak kesalahannya dari masalah ini. Jika program sudah benar, lihatlah pelaksanaannya, apakah ada yang salah. Dalam pasal 1 Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Usaha sadar yang terencana dapat diartikan sebagai cetak birunya yaitu kurikulum, apakah ada yang salah dengan kurikulum. Memang ada kata-kata ganti menteri ganti kurikulum, namun pada hakekatnya merupakan penyempurnaan dari kurikulum yang sedang berjalan, karena tuntutan zaman.
Hanya kadang ada usaha untuk menggabungkan dengan kurikulum negara-negara maju. Sebenarnya jika menghendaki perubahan dan ingin mencontoh negara maju. Contohlah negara yang secara terus menerus menduduki peringkat baik dalam pendidikan misal Jepang, Korea, China untuk tingkat ASIA. Negara Korea yang terang-terangan mencontoh Jepang ternyata mampu bangkit mensejajarkan diri dengan yang dicontoh. Hal ini pernah penulis tanyakan pada guru SMA di Korea saat bertemu dalam sebuah pameran di Aichi, Nagoya, Jepang. Tapi yakinlah bahwa merumuskan kurikulum tentu oleh para ahli di bidangnya, tidak sembarangan. Ini artinya kurikulum bukan menjadi akar masalah.
Mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Disini peran guru sebagai garda terdepan pelaksana perintah negara berupa melaksanakan kurikulum yang telah dianggarkan dengan anggaran yang besar. Apakah ada yang salah dengan guru?
Tentu semua orang tidak mau disalahkan, ini hanya sebuah tinjauan dan analisa dari hasil refleksi penulis sekaligus sebagai praktisi pendidikan. Tugas guru secara undang-undang sudah jelas yaitu mengembangkan potensi pesera didik yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Maka terlihat jelas bahwa guru bukan orang sembarangan, karena tugas itu bukan tugas yang ringan.
Dari banyak survei didapat bahwa kualitas guru Indonesia rendah, ini berkorelasi dengan rendahnya kualitas manusia Indonesia. Lantas rendahnya mutu guru terletak dimana. Secara kompetensi, guru harus memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi paedagogik, sosial, kepribadian dan profesional. Semua kompetensi yang dimiliki guru didapat saat menuntut ilmu keguruan. Tentu guru yang berkualitas adalah mereka yang memiliki empat kompetensi di atas rata-rata. Karena itu di negara yang memiliki kualitas manusia yang baik seperti Jepang dan Finlandia, yang dapat menjadi guru adalah mereka yang saat menuntut ilmu di perguruan tinggi mendapat peringkat 10 besar terbaik dari perguruan tinggi peringkat baik. Bisa dipahami karena guru bukan orang dengan kualitas sembarangan.
Maka makin terlihat jelas bahwa akar masalah adalah kualitas guru. Jika dilihat hasil penilaian kualitas guru yang nilai rata-rata kompetensi guru di Indonesia hanya 44,5. Padahal, nilai standar kompetensi guru adalah 75. Apakah guru hanya dari orang pandai, pada kenyataannya tidak semua orang pandai mampu menjadi guru yang baik. Disinilah pentingnya passion (kegairahan) guru dan sense (naluri) guru. Jika dipadukan akan menjadi integritas seorang guru. Integritas adalah konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan. Itu artinya integritas guru di Indonesia rendah. Mungkin karena itu Pak Anies Baswedan menggelorakan gairah guru saat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Kesalahan itu bukan hanya dilihat dari Integritas guru, tapi lebih ke cara perekrutannya. Ada apa dengan perekrutan guru, ada kelalaian dalam perekrutan guru. Perekrutnya belum mempunyai integritas yang baik. Aroma politik kental dalam perekrutan guru. Misalnya, karena merasa telah dibantu dalam pelaksanaan pemilihan pejabat, maka pejabat tersebut seenaknya mengangkat guru tanpa seleksi, seleksi hanya formalitas. Sehingga semua bisa menjadi guru, tanpa kompetensi yang memadai. Lebih parah lagi ini terjadi tidak skala daerah tapi skala nasional.
Dari pengamatan penulis sebagai guru, hanya 20% rekan guru yang memiliki integritas baik, selebihnya hanya asal guru. Namun survei yang dilakukan secara nasional guru yang layak hanya 30%.  Bahkan guru yang tidak layak, beranggapan bahwa menjadi pegawai negeri guru adalah puncak dari karier menjadi guru. Masalah ini serius untuk diselesaikan, karena itu Pak Anies Baswedan mengatakan pendidikan di Indonesia termasuk gawat darurat. Mereka yang tidak layak menjadi guru adalah perekrutan yang tidak mempunyai integritas. Guru bukan pekerjaan ketrampilan yang cukup memerlukan banyak latihan, sehingga tidak tepat yang dapat menjadi guru adalah mereka yang telah mengabdikan diri di dunia pendidikan lama.
Namun seleksi yang berintegritas yang mampu memilih guru yang layak menjadi guru. Para perekrut guru harus mempunyai integritas tinggi dengan misi merekrut bukan sembarang orang untuk menjadi guru pendidik generasi masa depan bangsa. Proses perekrutan harus transparan maka akan menimbulkan keadilan dan dihasilkan guru yang berkualitas, singkirkan jauh-jauh unsur politik.
Permasalahan menghadang berikutnya adalah para guru yang tidak layak dengan jumlah yang cukup banyak, yang hanya sekadar mengajar dan menanti upah yang selalu ingin bertambah terus. Jika ada kebijakan yang bertujuan meningkatkan kualitas guru, mereka tidak mau berubah dengan alasan tidak mungkin dipecat oleh pemerintah. Karena prosedur memecat PNS juga sulit. Disinilah pentingnya integritas pemimpin, yang konsisten dan teguh menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran. Kebijakan pemimpin untuk memperbaiki keadaan, kalau sosoknya berkomitmennya konsisten, maka bawahan akan menyadari untuk mengikutinya. Kebijakan menguji kompetensi guru harus secara kontinyu untuk memperbaiki keadaan atau kasarnya mengeliminasi guru tidak layak.
Perlu berkelanjutan atas regulasi yang telah dibuat dengan kajian  yang susah payah, misalnya PermenPAN RB No. 16 tahun 2009. Jika perlu evaluasi semua guru dengan jangka waktu tertentu, misalnya satu tahun. Setelah itu hasil evaluasi selama satu tahun dibuat tiga kategori, yaitu baik, sedang dan cukup. Kategori baik berarti layak, sedang kategori sedang bisa masih menjadi guru dengan catatan akan dievaluasi satu tahun lagi. Untuk kategori cukup maka dengan berat hati guru tersebut untuk diberhentikan segai guru namun masih menjadi pegawai di bagian administrasi sekolah tanpa menerima tunjangan sebagai guru. Konsekuensinya memang berat tapi ke depan akan lebih tertata lagi.
Taruhlah yang harus masuk ke bagian administrasi itu 15% dari jumlah guru seluruh Indonesia maka pemerintah tidak terlalu bingung dengan kebijakan tersebut. Karena di semua sekolah kekurangan tenaga administrasi, yang PNS paling 2 atau 3 orang. Bahkan sekolah jarang mempunyai tenaga pustakawan dan tenaga laboratorium berstatus PNS. Padahal ke depan sekolah agar harus berkualitas tidak lagi guru yang merangkap jabatan seperti bendahara, operator komputer, tenaga pustakawan dan tenaga laboratorium. Ini memang ada resiko yang harus diambil jika terjadi sedikit kegaduhan. Kekurangan guru yang telah menjadi tenaga administrasi ditutup dengan perekrutan guru baru. Padahal banyak calon guru sekarang yang berkualitas karena masuknya ke LPTK tersaring dengan tingkat kesulitan seperti masuk jurusan kedokteran. Guru sebagai tenaga profesional seperti dokter maka sudah sepantasnya tidak sembarang orang bisa jadi guru. Perekrutan guru baru bisa mencontoh Jepang atau Finlandia dengan menawarkan kepada lulusan perguruan tinggi dengan peringkat terbaik di perguruan tinggi dengan akreditasi A untuk menjadi guru.
Permasalahan timbul kemudian semua kebijakan itu menimbulkan biaya yang tidak sedikit. Negara tidak mampu menanggung beban biaya. Lagi-lagi ini dampak dari pendidikan yang tidak berintegritas sehingga menimbulkan efek negara menjadi kesulitan finansial karena korupsi. Sehingga kalau tidak ada langkah terobosan yang besar dan berani maka akan terulang terus masalah ini. Semua itu pilihan, mana yang perlu dipilih membiayai gaji guru yang tidak layak atau membiayai untuk pemilihan guru layak dan merekrut guru baru.
Sebenarnya regulasi pemerintah sudah ada untuk mengeliminasi guru tidak layak, dan sedang berjalan. Namun jalannya kurang berani alias lamban mungkin karena banyak pertimbangan, termasuk pertimbangan politik. Bangsa belum berani memilah antara politik dan pendidikan. Pemimpin di lingkungan pendidikan jangan mencari popularitas tapi cari integritas.
Sebagai gambaran guru tidak layak atau tidak mempunyai integritas sebagai berikut. Sering meninggalkan kelas tanpa alasan yang jelas. Jika mengajar tidak mampu memberi bimbingan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku yang baik. Mengandalkan lembar kerja siswa (LKS) yang dibeli siswa di sekolah. Jika tidak kepala sekolah, bisa jadi 2 jam pelajaran hanya melihat video di smartphone atau sekadar candaan lewat smartphone dengan sesama guru tidak layak sementara siswa disuruh mengerjakan LKS. Biasanya guru tidak layak pandai bicara dan melakukan lobi kepada kepala sekolah untuk menjadi panitia proyek atau apa lah namanya. Pokoknya pandai mencari celah untuk mendapatkan uang tambahan di sekolah, dengan berbagai macam istilah ada infaq sukarela, infaq wajib, ada iuran sukarela, iuran wajib, dan lain-lain.
Parahnya jika mengawasi tes atau ujian, satu ruangan bisa memperoleh nilai yang sama jika pengawas ruang dua-duanya guru tidak layak, mereka hanya ngobrol satu sama lain, atau bergantian keluar untuk urusan tidak penting misal merokok atau ngobrol dengan teman ruang lain yang bertipe sama. Jika sedang mengawasi tes atau ujian ada siswa mencontek dibiarkan dengan alasan agar nilai rata-rata sekolah meningkat atau tidak enak karena dulu kuliah juga mencontek. Implikasinya sangat besar, hasil tes atau ujian tidak valid tidak bisa membedakan siswa yang mampu dan tidak. Walaupun mereka telah mendatangani pakta integritas. Siswa pandai menjadi bulan-bulan siswa bodoh karena diancam harus memberi contekan. Siswa menjadi malas belajar karena mengandalkan siswa pintar, siswa terbiasa dengan budaya mencontek. Budaya kompetisi menjadi hilang di sekolah-sekolah. Siswa menjadi pemalas, di sekolah hanya sekadar sekolah dari pada di rumah tidak ada pekerjaan. Apalagi di tingkat SMP yang gratis dan beasiswa tidak mampu menjadikan siswa tanpa beban, seenaknya sendiri. Uang beasiswa akhirnya untuk foya-foya membeli rokok dan narkoba. Dan akhirnya yang ada suka bergerombol dan tawuran. Atau beasiswa untuk membeli smartphone untuk bermedia sosial dan berpacaran dengan berakhir nikah dini. Siswa menjadi bodoh tapi bahagia. Sementara nilai raport menjadi tidak bisa menggambarkan kemampuan siswa, sehingga siswa bodoh pun nilai raportnya tinggi. Jika di tingkat SMA raport dijadikan cara untuk masuk perguruan tinggi, maka bisa jadi siswa bodoh malah yang diterima. Di perguruan tinggi pun tidak jauh beda, budaya mencontek berlanjut sampai lulus. Mereka yang lulus dengan mencontek justru lebih mudah dapat pekerjaan karena di Indonesia masih sangat mendewakan nilai bukan kompetensi. Akhirnya menjadi pejabat pun masih bodoh, sifat-sifat guru tidak layak telah merasuk ke dalam jiwa siswa tersebut. Sampai-sampai menjadi profesor pun karena mencontek. Jika menjadi pejabat publik suap-menyuap menjadi budayanya dan korupsi menjadi inspirasinya. Kalau semua membudaya siapa yang salah.
Hasil belajar siswa yang dididik oleh guru tidak mempunyai integritas berupa pengetahuan bukan tindakan, sehingga perilakunya tidak bisa mencerminkan sebagai orang terdidik. Nilai raport tinggi tapi miskin dalam perilaku baik. Misalnya menurut pengetahuan bahwa merokok tidak baik mengganggu kesehatan, tetapi tindakannya justru merokok karena tidak mampu mengendalikan diri. Mengendarai motor tidak boleh dengan suara knalpot yang memekakkan telinga, karena suara itu akan mengganggu kesehatan telinga orang di dekatnya, malah dibuat lebih keras manakala banyak orang. Polisi pun tidak berani menegur karena sama-sama hasil belajarnya hanya pengetahuan, dengan alasan tidak ada aturannya. Di sini terlihat betapa urgennya integritas dalam pendidikan. 
Padahal dari survei sederhana penulis sebagai guru terhadap teman sejawat, hanya sekitar 20% guru layak menjadi guru baik, 50% guru layak menjadi guru sedang dan 30% guru tidak layak. Walaupun sebenarnya yang benar-benar tidak layak 15% sedangkan 15% hanya ikut-ikutan. Itu artinya masalah integritas para guru menjadi sangat penting, karena implikasi kedepannya sangat membahayakan negara. Guru tidak layak menjadi pencipta pejabat bodoh, koruptor, kekerasan seksual, pernikahan dini, narkoba, AIDS, dan pemboros keuangan negara sehingga menjadi negara tercinta sebagai negara miskin dan tidak berdaya.
Harapan
Dari tulisan di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia gawat darurat. Hasil pendidikan yang berupa pengetahuan, ketrampilan dan sikap semua dalam kondisi rendah. Kualitas pendidikan Indonesia dalam posisi terendah baik secara regional maupun internasional. Yang menjadi penyebab utama dari semua itu adalah rendahnya kualitas guru di Indonesia. Ada banyak faktor yang menyebabkan guru rendah kualitasnya, faktor yang paling menonjol dari rendahnya kualitas guru adalah rendahnya integritas guru dalam menjalankan tugasnya sesusia amanah undang-undang nomor 20 tahun 2003.
Guru bukan orang sembarangan karena tugas bukan tugas yang ringan. Sudah sepantasnya untuk membalikkan keadaan darurat ini harus ada langkah terobosan yang berani dengan segala resiko. Seperti hal sakit kalau sudah stadium akhir maka segera masuk ICU, semua kondisi dipantau setiap saat, dengan obat dosis tinggi, dengan resiko tinggi pula. Usaha untuk memulihkan dengan mengeliminasi guru tidak layak, melalui evaluasi seluruh guru dalam tiga kategori integritasnya. Untuk guru yang layak menjadi guru baik maka tetap menjadi guru. Untuk guru kategori layak menjadi guru sedang bisa dipertahankan menjadi guru namun dalam pantau atau evaluasi satu tahun mendatang. Sedangkan untuk guru yang tidak layak maka dengan berat hati dimasukkan tenaga administrasi sekolah atau kantor. Tenaga administrasi sekolah atau kantor juga banyak kekurangan tenaga. Jika menjadi tenaga administrasi juga tetap tidak mempunyai integritas maka dipensiun dini. Sedangkan untuk menggati guru yang tidak layak tadi perlu perekrutan yang transparan dan akutantabel. Dengan mencontoh Jepang atau Finlandia menawarkan lulusan terbaik dari perguruan tinggi terakkreditasi A untuk menjadi guru.
Harapannya jika ini bisa terwujud walaupun tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, dalam waktu tiga tahun dapat meningkatkan guru dengan integritas yang baik. Satu tahun untuk evaluasi menyeluruh, satu tahun lagi untuk memantau guru kategori sedang sekaligus perekrutan guru baru, satu tahun lagi untuk penataan dan refleksi pelaksanaan. Perlu diingat bahwa potensi bangsa Indonesia sangat tinggi untuk menjadi negara dengan guru berintegritas tinggi.
Manusia Indonesia mempunyai daya suai tinggi, sehingga tidak perlu ada yang mengkhawatirkan jika pelaksanaan ini dilaksanakan karena langkah tersebut juga untuk menyelamatkan bangsa ke depan. Siswa-siswa Indonesia tidak pernah sepi membuat harum bangsa dengan prestasi internasional menjuarai cabang olimpiade, robotika dan penelitian. Walaupun itu tidak bisa mewakili semua siswa, namun itu gambaran bahwa siswa Indonesia tidak kalah dengan bangsa lain.
Dengan wajah guru berintegritas tinggi, maka passion guru dan sense guru akan menjadi semangat guru Indonesia. Dengan guru yang berkualitas maka menghasilkan siswa yang berkualitas pula. Siswa dengan integritas baik akan menjadi siswa yang mampu mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Bukan tidak mungkin jika ini terwujud, bonus demografi akan menghasilkan kesejahteraan bukan malapetaka bangsa. Dalam waktu 20 tahun mendatang maka terlihat hasilnya. Semua prestasi buruk tahun ini akan berbalik 180 derajat. Sehingga pada tahun 2045 saat memperingati 100 tahun Indonesia merdeka, Indonesia menjadi negara maju yang demokratis dan sejahtera. Aamiin.
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar nasional pendidikan
http://www.antaranews.com/berita/567644/bps-indeks-pembangunan-manusia-indonesia-meningkat-2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar